Eksepsi Pengadilan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sudah menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Oleh lantaran itu, supermasi aturan menjadi dari tujuan segala elemen didalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh lantaran melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah sebuah negara yang terbentuk dari banyak sekali agama, ras, bahasa, dan budaya. Maka tuntutan aturan yang dipakai di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam hal ini, jenis-jenis kasus yang dikuasai oleh sebuah tubuh peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, sudah ditentukan dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia mempunyai ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan ketiruana peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada pertamanya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di banyak sekali peraturan. Kemudian gres pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan sudah dirubah sebanyak dua kali.melaluiataubersamaini adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuasaan mutlak peradilan agama ?
2. Bagaimana wewenang peradilan agama ?
3. Bagaimana eksepsi peradilan agama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang kala diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya yaitu dengan aturan acara. [1]
Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama dilingkungan Peradilan Agama terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.[2]
B. Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 hingga dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang otoriter berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.[3]
Menurut M. Yahya Harahap ada lima kiprah dan kewenangan yang terdapat dilingkungan Peradilan Agama, yaitu :
1. Fungsi kewenangan mengadili
2. Memdiberi keterangan, pertimbangan
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili kasus dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.[4]
· Kompetensi Relatif Peradilan Agama
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa program yang berlaku pada lingkungan peradilan agama yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh lantaran itu, landasan untuk memilih kewenangan relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang memutuskan ke pengadilan agama mana gugatan diajukan semoga gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang yaitu pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “ actor sequitur lembaga rei” , namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2),ayat (3) dan ayat (4), yaitu :
- Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang tempat hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
- Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
- Apabila gugatan terkena benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah aturan dimana barang tersebut terletak.
- Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan sanggup diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam sertifikat tersebut.
· Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Kewenangan otoriter (absolute competentie) yaitu kekuasaan peradilan yang bekerjasama dengan jenis kasus atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis kasus atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama yaitu memeriksa, memutus, dan menuntaskan kasus perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Pasal 10 UU No. 7 Tahun 1970 memutuskan empat jenis lingkungan peradilan dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Untuk lingkungan peradilan agama berdasarkan Bab I pasal 2 jo Bab III pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 diputuskan kiprah kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menuntaskan perkara-perkara perdata bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan aturan islam
c. Wakaf dan sedekah.
melaluiataubersamaini perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari aturan perdata yang menjadi kewenangan otoriter peradilan agama yaitu bidang aturan keluarga dari orang-orang yang beragama islam. Oleh lantaran itu, berdasarkan Prof. Busthanul Arifin, perdilan agama sanggup dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, ibarat yang terdapat dibeberapa negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara dibidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya tidak sama dengan peradilan umum. Oleh lantaran itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera dan sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.[5]
Ø Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan
Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang terkena perkawinan yang berlaku, pasal 49 ayat (2).Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama yaitu kasus perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
1. Izin diberistri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang bau tanah atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. Perceraian lantaran talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu sanggup memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak yang seharusnya bertangung jawaban tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memdiberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum sampaumur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang sudah mengakibatkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemdiberian keterangan untuk melaksanakan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan berdasarkan peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal mempersembahkan kewenangan Peradilan Agama untuk menyelidiki kasus perkawinan, yaitu:
23. Penetapan Wali Adlal;
24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
Ø Kewenangan Mengadili Perkara Bidanag Kewarisan, Wasiat, dan Hibah
Menurut pasal 49 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasal 49 ayat (1) abjad b, yaitu terkena :
a. Penentuan siapa-siapa yang menjadi hebat waris
b. Penentuan harta peninggalan
c. Bagian masing-masing hebat waris dan
d. Melaksanakan santunan harta peninggalan.
Dalam pasal 2 jo. pasal 49 ayat (1) jo. klarifikasi umum angka 2 alinea ketiga sudah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini yaitu asas personalitas keislaman. Oleh lantaran itu, dengan mengaitkan asas ini dengan ketentuan pasal 49 ayat 1 abjad b, jo. klarifikasi umum angka 2 alinea tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. melaluiataubersamaini perkataan lain, dalam hal ini terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan kelingkungan peradilan umum. Kaprikornus luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama islam terkecuali.[6]
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut Hukum Waris Islam, sanggup dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3) jo klarifikasi umum angka 2 alinea keenam. Kaprikornus uraian singkat dari ketentuan pasal tersebut yaitu bahwa pokok-pokok aturan waris islam yangakan diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam diperadilan agama terdiri atas :
1. Siapa-siapa yang menjadi hebat waris, meliputi penentuan kelompok hebat waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi hebat waris, dan penentuan hak dan kewajiban hebat waris.
2. Penentuan terkena harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang sanggup diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
3. Penentuan penggalan masing-masing hebat waris, hal ini sudah diatur dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad, dan
4. Melaksanakan santunan harta peninggalan.
Ø Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah
Pasal 1 ayat(1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik memilih pengertian tentang wakaf. Wakaf yaitu perbuatan aturan seseorang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan fatwa agama islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28 Tahun 1977 ialah peraturan perwakafan dalam fatwa islam yang sudah menjadi aturan positif dan pengaturannya mempunyai cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh lantaran itu, kalau ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya sanggup diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[7]
C. Eksepsi Peradilan Agama
Eksepsi dalam konteks aturan program perdata mempunyai makna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok kasus (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam aturan program perdata yaitu eksepsi terkena kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili kasus yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:
1) Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)
Kompetensi otoriter berkaitan dengan kewenangan otoriter 4 (empat) lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu.[8]
Pengajuan eksepsi kewenangan otoriter (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Eksepsi kewenangan otoriter sanggup diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan otoriter sanggup diajukan oleh tergugat setiap ketika selama proses investigasi berlangsung semenjak proses investigasi dimulai hingga sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).[9]
2) Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah aturan dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada ketika mengajukan jawabanan pertama terhadap materi pokok perkara.[10]
Pengajuan eksepsi kewenangan relatif sanggup secara ekspresi atau berbentuk tulisan. Pasal 133 HIR mempersembahkan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan tindakan tersebut sanggup dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif sanggup diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.[11]
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi otoriter yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawabanan setelah pembacaan gugatan/permintaan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok perkara. Namun, kalau eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim sanggup memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.[12]
Teknik pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses investigasi berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara terkena ketika pengajuan eksespsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.[13]
Teknik mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir) Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal tersebut sanggup disimpulkan bahwa : Eksepsi kewenangan otoriter sanggup diajukan tergugat setiap ketika selama proses investigasi berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya semenjak proses dimulai hingga sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan sanggup diajukan pada tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, sudah mengatur sebagai diberikut “ dalam hal hakim tidak berwenang lantaran jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, lantaran jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal ini yaitu Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili kasus yang diperiksanya, apabila kasus diajukan secara otoriter berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.[14]
Teknik pengajuan eksepsi kompetensi relative (Relative Competentie) bentuk dan ketika pengajuan eksepsi kompetensi relative diatur dalam pasal 125(2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut.[15]
Meskipun undang-undang spesialuntuk menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara otoriter dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek aturan dan kepercayaan hukum. dan bahwasanya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai diberikut : Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bahu-membahu dengan pokok perkara. Dalam praktik program perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi terkena kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut sudah dijadikan pedoman oleh para praktisi aturan yang pada pokoknya menggariskan: Semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi otoriter harus disampaikan bersama sama dengan jawabanan pertama terhadap pokok perkara, dan kalau tidak dilakukan bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.[16]
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut sanggup dilakukan secara ekspresi dan tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawabanan pokok perkara. Dan kalau eksepsi tersebut terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi otoriter maka harus dilakukan secara sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.
Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bahu-membahu pokok perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bahu-membahu dengan pokok kasus dengan demikian pertimbangan dan amar putusan terkena eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan final dan kalau eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak sanggup diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok kasus sehingga putusan yang dijatuhkan menuntaskan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat.[17]
a. Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya. Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus ditetapkan tidak sanggup diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).
Secara garis besar eksepsi prosesual sanggup dibagi kepada dua penggalan :Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya sudah dijelaskan dan sanggup diklasifikasikan, eksepsi lantaran pengadilan tidak berwenang secara otoriter dan eksespsi lantaran pengadilan tidak berwenang secara relatif. Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan eksklusif dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketetuan tersebut sudah digariskan cara memilih kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal tergugat, lembaga rei sitae, lembaga rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan.[18]
Lebih lanjut dibawah ini dibahas terkena eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari banyak sekali bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain : Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini sanggup diajukan banyak sekali bentuk eksepsi, antara lain lantaran surat Kuasa bersifat umum, hal ini sanggup menjadi penggalan eksepsi lantaran untuk berperkara dipengadilan harus memakai surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR. Kemudian eksepsi lantaran surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang sudah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan eksepsi lantaran surat kuasa dibentuk oleh orang yang tidak berwenang contohnya surat kuasa yang didiberikan oleh komisaris perseroan, padahal berdasarkan UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan yang sanggup mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan yaitu direksi.[19]
Eksepsi Error in Persona, tergugat sanggup mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person. Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi kejadian sebagai diberikut :
Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat tidak mempunyai persona standi in judicio didepan PN lantaran penggugat bukan orang yang berhak oleh alhasil tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai pola apabila yang mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat sanggup mengajukan exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan aturan untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat, sebagai pola putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabankan sengketa yang berkaitan dengan yayasan. Dalam masalah demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, lantaran yang mestinya ditarik sebagai Tergugat yaitu yayasan.[20]
Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini yaitu apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut sertakan sebagai penggugat atau tergugat, gres sengketa yang dipersoalkan sanggup diselsaikan secara tuntas dan menyeluruh.[21]
Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, masalah kasus yang sama tidak sanggup diperkarakan dua kali, apabila suatu masalah kasus sudah pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya sudah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan aturan tetap maka terhadap masalah kasus itu, tidak boleh diajukan gugatan gres untuk memperkarakannya kembali.[22]
Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal semoga gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan terang atau tegas (duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar aturan gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menerangkan dsar aturan (rechtsgrond) dan kejadian atau kejadian yang mendasari gugatan. Bisa juga, dasar aturan jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan ibarat itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak terang dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde conclusie). Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi terkena tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan terkena tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek sengketa, luas tanah tidak sama dengan investigasi setempat, tidak disebutnya letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak terang dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil pola putusan MA No. 582 K/Sip/1973.
Petitum gugatan tidak terang dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil pola putusan MA No. 582 K/Sip/1973.
Petitum gugatan meminta :
1. menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa,
2. menghukum tergugat supaya berhenti melaksanakan tindakan apapun atas tanah terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin diputuskan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum diberikutnya, tidak terang tindakan apa yang dilarang tergugat. MA berpendapat, oleh lantaran petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus ditetapkan tidak sanggup diterima.[23]
Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling mendukung tidak boleh saling berperihalan. Apabila hal itu tidak dipenuhi, menimbulkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang sanggup dituntut dalam petitum, harus terkena penyelesaian sengketa yang didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan petitum. Selanjutnya spesialuntuk yang dijelaskan dalam posita yang sanggup diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak sanggup diminta dalam petitum.
Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang beropini wanprestasi atau ingkar kesepakatan (default) ialah genus spesifik dari perbuatan melawan aturan (onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar kesepakatan atau lalai memenuhi pembayaran utang sempurna pada waktunya, terang sudah melaksanakan pelanggaran atas hak kreditur. melaluiataubersamaini demikian, terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi kalau diteliti lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :
Ditunjau dari segi hukum, wanprestasi berdasarkan pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata,
1. harus ada lebih lampau perjanjian para pihak,
2. salah satu perjanjian menggariskan apa yang sudah disahkan harus dipenuhi atau promise must be kept,
3. wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi prestasi sempurna waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata lahir jawaban perbuatan orang yang ialah perbuatan melanggar aturan pidana atau perdata maupun keduanya.[24]
Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada prinsipnya diharapkan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali kalau dalam perjanjian sudah mencantumkan terkena hal tersebut. Lain halnya dengan perbuatan melawan aturan tidak diharapkan somasi, kapan saja terjadi Perbuatan melawan aturan pihak yang dirugikan eksklusif menerima hak untuk menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang sanggup dituntut semenjak terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 dan 1243 KUH Perdata mengatur tentang jenis dan julah ganti rugi yang sanggup dituntut yang terdiri dari : kerigian yang dialami oleh kreditur, laba yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar aturan perbuatan melawan aturan tidak sebut bentuk ganti ruginya juga tidak sebut rincian ganti rugi dengan demikian sanggup dituntut :
a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil;
b) kerugian immateril berupa ganti rugi pemulihan kepada keadaan tiruanla atau restoration to orisinil condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).[25]
Berdasarkan uraian tersebut intinya tidak sama antara wanprestasi dengan Perbuatan melawan aturan ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh lantaran itu dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan
1) mencampur adukan wanprestasi dengan perbuatan melawan aturan dalam gugatan,
2) dianggap keliru merumuskan dalil perbuatan melawan aturan dalam gugatan kalau terjadi in konkreto secara realistis yaitu wanprestasi atau tidak sempurna kalau gugatan wanpretasi sedang kejadian aturan yang terjadi secara adil ialah perbuatan melawan hukum, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya.[26]
Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan kepercayaan terdapat beberapa macam eksepsi aturan materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai diberikut :
1. Exceptio dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan penggugat tidak sanggup diperiksa lantaran prematur dalam arti gugatan mengandung sifat atau keadaan prematur lantaran batas waktu untuk menggugat belum hingga pada waktu yang disahkan atau lantaran sudah dibentuk penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan.[27]
2. Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang sanggup menyingkirkan (set aside) gugatan lantaran masalah yang digugat tidak sanggup diperkarakan. Karena apa yang digugat sudah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari perjanjian yang sudah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, contohnya permasalahan yang digugat sudah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat sudah dihukum berdasarkan pasal 224 HIR. Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria exceptie) antara lain terdiri dari :
3. Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar aturan untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan aturan untuk membebaskan (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan terkena pengajuannya sanggup diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok kasus dalam bentuk putusan akhir.[28]
4. Exceptio non pecuniae numeratae, eksepsi yang mencakupkan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan kemampuan atau keberhasilan tergugat mengambarkan bahwa uang yang disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak bisa mengambarkan eksepsinyapun ditolak.[29]
5. Exceptio doli mali, atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu keberatan terkena penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Kaprikornus eksepsi yang menyatakan penggugat sudah memakai kecerdikan kedaluwarsa dalam perbuatan perjanjian. melaluiataubersamaini demikian eksepsi ini diberikaitan dengan ketentuan pasal 1328 KUH Perdata.
6. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.[30]
7. Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini sanggup diterapkan dalam gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik. Seseroang tidak berhak menggugat apabilia ia sendiri tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang sudah disahkan.
8. Exceptio Domini, eksepsi ini ialah tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang meliputi bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
9. Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang mencakupkan bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan kasus yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan. (boy).[31]
Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:
a. Eksepsi terkena kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawaban pokok perkara.
b. Eksepsi terkena kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang untuk mengadili kasus tsb (psl 143 HIR), eksepsi terkena kekuasaan otoriter sanggup diajukan setiap waktu selama investigasi kasus berlangsung, bahkan hakim wajib lantaran jabatannya (tanpa harus diminta oleh tergugat)
c. Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134) kalau benar maka gugatan penggugat diputus tidak sanggup diterima. Dalam hal ini penggugat sanggup mengajukan gugatan gres pada pengadilan yang berwenang.
d. Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat ditetapkan tidak sanggup diterima, penggugat sanggup menggugat kembali setelah datang saatnya.
e. Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): misal daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak sanggup mengajukan gugatan lagi.
f. Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.
g. Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa kasus yang kini seluruhnya sama dengan kasus yang terlampau diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).[32]
BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Sesudah mengulas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan yaitu sebagai diberikut:
Kekuasaan mutlak peradilan agama dilingkungan peradilan agama terdapat dua tingkat pengadilan, yaitu pengadilan agama pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Kekuasaan relative yaitu kekuasaan dan wewenang yang didiberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang bekerjasama dengan wilayah aturan antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor.
Kewenangan absolute yaitu kekuasaan yang bekerjasama dengan jenis kasus dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama yaitu memeriksa, memutus, dan menuntaskan kasus perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menuntaskan perkara-perkara perdata bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan aturan islam
c. Wakaf dan sedekah.
Eksepsi yaitu suatu tangkisan atau bantahan pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara.
Eksepsi kewenangan otoriter sanggup diajukan oleh tergugat setiap saat, selama proses investigasi berlangsung. Sejak proses investigasi dimulai hingga sebelum putusan dijatuhkan dipersidangan tingkat pertama (peradilan negeri). Sedangkan eksepsi kewenagan relatif pengajuannya harus disampaikan pada siding pertama dan bersamaan pada ketika mengajukan jawabanan pertama terhadap materi pokok (perkara) apabila tidak terpenuhi syarat tersebut menimbulkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Eksepsi kewenangan relative ini sanggup berupa ekspresi dan tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama diindonesia, Jakarta: Kencana,2005.
Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996.
Artikel :
Santoso, Macam-macam Eksepsi, 2010, http://www.santoslolowang.com/macam macam-eksepsi/
[1] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini), 1993, h. 133.
[2] Ibid, h. 134.
[3] Ibid, h. 134.
[4] Ibid, h. 135.
[7] Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), h.101.
[8] http://www.hukumacaraperdata.com/2012/12/04/eksepsi-kewenangan-mengadili/, diakses pada hari Rabu, 20 November 2013, jam 14:00 Wita.
[9] Ibid.,
[10] Ibid,.
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Ibid.,
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Ibid.,
[26] Ibid.,
[27] Ibid.,
[28] Ibid.,
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Santoso, Macam-macam Eksepsi, 2010, http://www.santoslolowang.com/macam macam eksepsi/, diakses pada hari jum’at, 22 November 2013, pada jam 09:00 Wita.
Posting Komentar untuk "Eksepsi Pengadilan Agama"