Tinjauan Ekonomi Dalam Konflik Maritim China Selatan (South China Sea)
Salah satu problem faktual terkait hubungan antar negara dalam satu daerah yaitu sengketa Laut China Selatan (South China Sea). Konflik ini bukan permasalahan yang gres terjadi, melainkan sudah berpertama semenjak beberapa dasawarsa yang lalu.
Berbagai kepentingan saling berbenturan, antara lain menyangkut kedaulatan wilayah suatu negara, hegemoni politik dalam satu kawasan, penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, goresan pena ini akan lebih melihat dari perspektif ekonomi, khususnya menyangkut sumber kekayaan alam yang terdapat di Laut China Selatan.
Secara geografis, Laut China Selatan mempunyai luas tidak kurang dari 2 juta km2 wilayah kelautan. Bemasukan luas tersebut setara dengan 22% luas wilayah daratan China; sehingga tidak mengherankan kalau luas wilayah ini menjadi salah satu alasan strategis mengapa Laut China Selatan diklaim oleh beberapa negara yang berbatasan pribadi dengannya.
Adapun negara-negara yang terlibat secara pribadi atas sengketa Laut China Selatan ini antara lain: China, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Phillipina, dan Brunei Darusallam.
Berbagai studi menunjukan latar belakang konflik perebutan wilayah tersebut, beserta alasan-alasan yang menjadi dasar suatu negara mengklaim daerah Laut China Selatan. misal perebutan wilayah tersebut diantaranya yaitu saling klaim kepemilikan kepulauan yang terdapat dalam lingkup Laut China Selatan, yakni Kepulauan Paracel (Paracel Islands) yang diklaim setidaknya oleh China, Vietnam, dan Taiwan.
Sementara itu ada satu kepulauan lain yang juga menjadi sengketa, yakni Kepulauan Spratly (Spratly Islands) yang menjadi klaim Vietnam, China, Taiwan, Philipina, Malaysia, dan Brunei Darusallam (Schofield, Clive. What’s at stake in the South China Sea? Geographical and Geopolitical Considerations, University of Wollongong, 2013).
Dalam tinjauan ekonomi, data dari organisasi internasional the World Wildlife Fund (WWF) menyatakan bahwa didalam Laut China Selatan terdapat kekayaan yang melimpah, meliputi: biota laut, formasi karang dan koral, serta banyak sekali sumber hayati lainnya.
Karena wilayah ini relatif terlindung dari gangguan angin kencang berkat adanya formasi karang sebagai penahan, maka wilayah ini menjadi tempat hidup yang sangat aman untuk banyak sekali kehidupan laut. Bahkan ditetapkan juga bahwa Laut China Selatan menghasilkan kurang lebih 10% kebutuhan ikan secara global (World Wildlife Fund. Resource Scarcity in the South China Sea, 2015).
Data lain yang dihimpun dari the United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan terdapat setidaknya 1.8 hektare tumbuhan mangrove, 750 ribu hektare bebatuan karang, serta 73 ribu hektare kekayaan hayati berupa rumput laut. Apabila diberdayakan, maka sumberdaya tersebut bisa menghasilkan nilai setara US$ 6,000 juta/tahun (www.unepscs.org).
Selain itu, wilayah ini juga menjadi perlintasan perdagangan internasional strategis yang menghubungkan banyak sekali negara di daerah Asia-Pasifik. Kemudian yang tidak kalah pentingnya yaitu melimpahnya sumberdaya minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalam Laut China Selatan.
Salah satu penelitian sebut bahwa terdapat kurang lebih 11 miliar barrel persediaan minyak bumi di daerah ini, dan sekitar 190 triliun kubik cadangan gas alam. Jumlah ini setara dengan cadangan minyak yang dimiliki Meksiko dan sekitar dua-pertiga cadangan gas di Eropa, tidak termasuk Rusia (Metelitsa and Kupfer. Oil and Gas Resources and Transit Issues in the South China Sea, 2014).
Dalam mengatasi sengketa perebutan wilayah Laut China Selatan, sebetulnya ada organisasi internasional yang bertugas memmenolong merampungkan konflik ini melalui kesepakatan-kesepakatan multilateral, yakni the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Organisasi ini mempunyai kiprah penting dalam memilih janji bersama atas klaim suatu wilayah, beserta hak-hak atas memanfaatkan sumberdaya yang ada didalamnya. Namun akungnya, meskipun sudah ada kesepakatan-kesepakatan bersama, sampai ketika ini problem di daerah Laut China Selatan tidak pernah menemukan titik temu.
Lantas dibuatlah model janji dalam bentuk kerjasama, yang diharapkan bisa memmenolong mengurangi ketegangan dalam konflik di Laut China Selatan. Salah satunya yaitu melalui kerjasama antara China dengan negara-negara ASEAN. Kerjasama China-ASEAN sangat dibutuhkan, setidaknya dalam meredam permasalahan supaya tidak bergerak terlalu jauh sampai membahayakan keamanan kawasan, meskipun ini bukan solusi ideal.
Yang tidak kalah penting yaitu kiprah negara pihak ketiga yang lebih netral dan tidak terlibat secara pribadi dalam sengketa (non-claimant country), ibarat Indonesia, yang harus bisa menjadi pencipta perdamaian (peace maker) dikawasan ini. Adapun kiprah tersebut bisa diwujudkan melalui pendekatan budaya dan diplomasi, serta dengan terus menyerukan supaya negara-negara berkonflik menaati janji internasional dan tetap menjaga ketenangan kawasan.
Lebih jauh, upaya menjaga keamanan, kedamaian, dan membangun kemitraan antar negara juga diarahkan untuk mewujudkan salah satu tujuan dalam aktivitas the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ketujuhbelas, yakni memperkuat instrumen untuk mengimplementasikan dan merevitalisasi kerjasama global dalam rangka pembangunan jangka panjang.
Sebagai kesimpulan, sengketa yang terjadi di Laut China Selatan melibatkan banyak sekali negara di daerah dan luar daerah dengan bermacam-macam kepentingan. Salah satu kepentingan yang mendasarinya yaitu sumber kekayaan ekonomi yang terdapat didalam wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan upaya dari pihak internasional dan pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam konflik, sebagai fasilitator sekaligus penjaga perdamaian kawasan, meskipun hal tersebut tidak serta-merta merampungkan permasalahan. **
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
SDGs: Perdamaian, Keadilan, dan Kerjasama Global untuk Pembangunan Jangka Panjang
Berbagai kepentingan saling berbenturan, antara lain menyangkut kedaulatan wilayah suatu negara, hegemoni politik dalam satu kawasan, penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, goresan pena ini akan lebih melihat dari perspektif ekonomi, khususnya menyangkut sumber kekayaan alam yang terdapat di Laut China Selatan.
Secara geografis, Laut China Selatan mempunyai luas tidak kurang dari 2 juta km2 wilayah kelautan. Bemasukan luas tersebut setara dengan 22% luas wilayah daratan China; sehingga tidak mengherankan kalau luas wilayah ini menjadi salah satu alasan strategis mengapa Laut China Selatan diklaim oleh beberapa negara yang berbatasan pribadi dengannya.
Adapun negara-negara yang terlibat secara pribadi atas sengketa Laut China Selatan ini antara lain: China, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Phillipina, dan Brunei Darusallam.
Berbagai studi menunjukan latar belakang konflik perebutan wilayah tersebut, beserta alasan-alasan yang menjadi dasar suatu negara mengklaim daerah Laut China Selatan. misal perebutan wilayah tersebut diantaranya yaitu saling klaim kepemilikan kepulauan yang terdapat dalam lingkup Laut China Selatan, yakni Kepulauan Paracel (Paracel Islands) yang diklaim setidaknya oleh China, Vietnam, dan Taiwan.
Sementara itu ada satu kepulauan lain yang juga menjadi sengketa, yakni Kepulauan Spratly (Spratly Islands) yang menjadi klaim Vietnam, China, Taiwan, Philipina, Malaysia, dan Brunei Darusallam (Schofield, Clive. What’s at stake in the South China Sea? Geographical and Geopolitical Considerations, University of Wollongong, 2013).
Dalam tinjauan ekonomi, data dari organisasi internasional the World Wildlife Fund (WWF) menyatakan bahwa didalam Laut China Selatan terdapat kekayaan yang melimpah, meliputi: biota laut, formasi karang dan koral, serta banyak sekali sumber hayati lainnya.
Karena wilayah ini relatif terlindung dari gangguan angin kencang berkat adanya formasi karang sebagai penahan, maka wilayah ini menjadi tempat hidup yang sangat aman untuk banyak sekali kehidupan laut. Bahkan ditetapkan juga bahwa Laut China Selatan menghasilkan kurang lebih 10% kebutuhan ikan secara global (World Wildlife Fund. Resource Scarcity in the South China Sea, 2015).
Data lain yang dihimpun dari the United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan terdapat setidaknya 1.8 hektare tumbuhan mangrove, 750 ribu hektare bebatuan karang, serta 73 ribu hektare kekayaan hayati berupa rumput laut. Apabila diberdayakan, maka sumberdaya tersebut bisa menghasilkan nilai setara US$ 6,000 juta/tahun (www.unepscs.org).
Selain itu, wilayah ini juga menjadi perlintasan perdagangan internasional strategis yang menghubungkan banyak sekali negara di daerah Asia-Pasifik. Kemudian yang tidak kalah pentingnya yaitu melimpahnya sumberdaya minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalam Laut China Selatan.
Salah satu penelitian sebut bahwa terdapat kurang lebih 11 miliar barrel persediaan minyak bumi di daerah ini, dan sekitar 190 triliun kubik cadangan gas alam. Jumlah ini setara dengan cadangan minyak yang dimiliki Meksiko dan sekitar dua-pertiga cadangan gas di Eropa, tidak termasuk Rusia (Metelitsa and Kupfer. Oil and Gas Resources and Transit Issues in the South China Sea, 2014).
Dalam mengatasi sengketa perebutan wilayah Laut China Selatan, sebetulnya ada organisasi internasional yang bertugas memmenolong merampungkan konflik ini melalui kesepakatan-kesepakatan multilateral, yakni the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Organisasi ini mempunyai kiprah penting dalam memilih janji bersama atas klaim suatu wilayah, beserta hak-hak atas memanfaatkan sumberdaya yang ada didalamnya. Namun akungnya, meskipun sudah ada kesepakatan-kesepakatan bersama, sampai ketika ini problem di daerah Laut China Selatan tidak pernah menemukan titik temu.
Lantas dibuatlah model janji dalam bentuk kerjasama, yang diharapkan bisa memmenolong mengurangi ketegangan dalam konflik di Laut China Selatan. Salah satunya yaitu melalui kerjasama antara China dengan negara-negara ASEAN. Kerjasama China-ASEAN sangat dibutuhkan, setidaknya dalam meredam permasalahan supaya tidak bergerak terlalu jauh sampai membahayakan keamanan kawasan, meskipun ini bukan solusi ideal.
Yang tidak kalah penting yaitu kiprah negara pihak ketiga yang lebih netral dan tidak terlibat secara pribadi dalam sengketa (non-claimant country), ibarat Indonesia, yang harus bisa menjadi pencipta perdamaian (peace maker) dikawasan ini. Adapun kiprah tersebut bisa diwujudkan melalui pendekatan budaya dan diplomasi, serta dengan terus menyerukan supaya negara-negara berkonflik menaati janji internasional dan tetap menjaga ketenangan kawasan.
Lebih jauh, upaya menjaga keamanan, kedamaian, dan membangun kemitraan antar negara juga diarahkan untuk mewujudkan salah satu tujuan dalam aktivitas the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ketujuhbelas, yakni memperkuat instrumen untuk mengimplementasikan dan merevitalisasi kerjasama global dalam rangka pembangunan jangka panjang.
Sebagai kesimpulan, sengketa yang terjadi di Laut China Selatan melibatkan banyak sekali negara di daerah dan luar daerah dengan bermacam-macam kepentingan. Salah satu kepentingan yang mendasarinya yaitu sumber kekayaan ekonomi yang terdapat didalam wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan upaya dari pihak internasional dan pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam konflik, sebagai fasilitator sekaligus penjaga perdamaian kawasan, meskipun hal tersebut tidak serta-merta merampungkan permasalahan. **
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
SDGs: Perdamaian, Keadilan, dan Kerjasama Global untuk Pembangunan Jangka Panjang
Posting Komentar untuk "Tinjauan Ekonomi Dalam Konflik Maritim China Selatan (South China Sea)"