Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Melawan Hukum



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Taransisi demokrasi di Indonesia yang sedang berlangsung pada kala reformasi ini memdiberi keinginan gres akan lahirnya banyak sekali reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Namuan demikian, kenyataan membuktikan bahwa cita luhur itu tidak segampang realisasinya. Terdapat sejumlah problem yang menghadang untuk sekedar mempersempit jarak antara cita dan realita sebagai akhir deri kritis multidememnsi yang melandanya.
Tanpa mengingkari adanya banyak sekali kelemahan yang ada dalam kala reformasi, secara adil kala ini tidaklah sepenuhnya gagl total, terdapat buah pendapat yang kiat sanggup petik dari arah perubahan sosial yang sedang berlangsung itu. Selain tumbuhnya kesadarn gres terkena pembelajaran demokrasi poloik dan tranparasi ekonomi, kesadaran masyarakat terhadap penegakan aturan di satu sisi dan menyerupakan kasus-kasus aturan terutama tindak pidana, di sisi lain mendorong adany upaya-upaya aturan terutama law enforcoment di Indonesia. 
Kuatnya tuntunan penegakan aturan dari masyarakat ialah yang baik yng harus segera disikapi secara proaktif. Momentum dimaksud ialah peluang bagi para hebat aturan untuk mengambil langkah-langkah yang proaktif supaya tuntunan masyarakat sanggup di penuhi. Salah satu bentuk proaktif ini yaitu sosialisasi materi aturan dalam hal ini khususnya aturan pidana ditengah masyarkat.
Hukum sangatlah penting dalam kehidupan kita sehari-hari, lantaran dengan adanya aturan dibutuhkan biar masyarakat mendapat rasa kondusif dalam menjalani kehidupannya. Banyak sekali realita kini yang kita jumpai di kehidupan kita orang dengan sengaja tidak menjalankan peraturan. Jikalau mereka mau berfikir, sebetulnya andaikan tiruana orang taat akan aturan pasti hidup ini akan terasa lebih nyaman.
cepatdangampang-gampangan dengan adanya makalah yang saya susun ini mempersembahkan sedikit wawasan wacana “Sifat Melawan Hukum” yang juga termasuk dari penggalan hukim pidana.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sifat melawan aturan ?
2.      Bagaiman paham-paham sifat melawan aturan ?
3.      Bagaimana berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana wacana perbuatan melawan aturan ?
4.      Apakah sifat melawan aturan termasuk perbutan pidana ?

















BAB II
PEMBAHSAN

A.      Pengertian Sifat Melawan Hukum
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat adil yaitu sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan aturan itu yaitu wederrechtelijk (weder = berperihalan dengan, melawan; recht = hukum). Dalam memilih perbuatan sanggup dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan aturan sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat sanggup dicela adakala dimasukan dalam rumusan delik, yaitu dalam delik cupla.
Pompe menyampaikan bahwa pembentuk undang-undang memiliki alasan untuk tidak mencantumkan dengan tegas istilah itu justru lantaran sebagai perbuatan yang sudah ditetapkan sebagai tindak pidana atau delik itu bersifat melawan hukum.
Pompe, menyampaikan bahwa untuk sanggup dipidananya seorang yang sudah dituduh melaksanakan tindak pidana, ada ketentuan di dalam aturan acara.
1.      Tindak pidana yang dtuduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan.
2.      Tindak pidana itu spesialuntuk dikatakan terbukti jikalau memenuhi tiruana unsur yang terdapat di dalam rumusannya;
Dikatakan Seanjutnya bahwa jikalau unsur melawan aturan itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur itu juga harus dibuktikan, sedangkan jikalau dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Syarat bahwa unsur melawan aturan itu selalu harus dibuktikan di dalam program peradilan akan ialah beban yang berat sekali dan mempersusah prosese itu sendiri. Karena pada umumnya membuktikan sifat melawan aturan itu susah. Justru dicantumkan sebagai unsur delik itu berakibat jaksa harus sebut di dalam surat dakwaan dan harus di buktikan. Ini pekerjakan yang cukup susah.
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi insiden yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dihentikan oleh undang-undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak sangat bahagia. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehimgga tidak terjadi eignticthing ibarat yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenricthing sanagat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum  karena dengan demikian proses aturan menjadi tidak sanggup dilakukan pelaku kejahatan.
Hukum pidana dikenal sebagai ultium remedium atau sebagai alat terkhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan lantaran sifat pidana yang menjadikan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penerapan pidana sebagai masukana pencegahan kejahatan. Namun, tidak tiruana orang beropini bahwa pidana itu menjadikan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal yaitu sifat melawan aturan (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang implisit ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan aturan yang implisit dan eksplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak diasingkan lagi bahwa unsur ini ialah unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana biar si pelaku atau terdakwa sanggup dilakukan penuturan dan pembuktian di pengadilan.
Tukisan ini bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut wacana perkembangan pemikiran sifat melawan aturan ini secara terus-menerus mengalami perubahan perilaku baik dari pembuat undang-undang maupun hakim yang terwujud dalam yurisprudensi. Apalagi dikaitkan dengan adanya rancngan atau konsep gres kitab undang-undang Hukum Pidana yang juga mendapat porsi dalam pasal tersendiri.
Pada umumnya para sarjana aturan menanyakan bahwa melawan ialah unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik ditetapkan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak tiruana pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana mencantumkan unsur melawan aturan ini terulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1.      Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian masuk akal sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dunyatakan secara eksplisit.
2.      Perbuatan melawan aturan berarti bahwa seseorang melanggar atau melanggar atau bertentanngan dengan kaidah materiil yang berlaku bginya, oleh lantaran itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melaksanakan perbuatan pidana yaitu onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan ialah salah satu syarat pemidanaan.
Dalam pembicaraan terkena dasar atau alasan penghapus pidana, yang mencakup alasan pembenar dan alasan pemaaf, sifat melawan aturan ialah alasan pembenar, artinya jikalau alasan sifat melawan aturan dari suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan aturan ini tidak spesialuntuk sifat melawan hukum  yang bersifat formal (formale wederrechtelijkhedi) dan maupun sifat melawan aturan yang materil (materiele wederrechtelijkheid).
Pembicaraan terkena sifat melawan aturan (onrechmatigdaad) terutama dalam bidang aturan perdata lebih lampau dilakukan, terutama dengan adanya HR 30 Januari 1919 yang selalu menjadi contoh dalam pembicaraan asas-asas aturan perdata, sedangkan dalam lapangan aturan pidana gres dimulai tahun 1933 dengan adanya arrest HR 20 Februari 1993, Veearts arrst. Bagi aturan pidana mengikat luasnya sifat melawan aturan dalam bidang aturan perdata, terjadi suatu keadaan yang tidak menguntungkan terutama terhadap perbuatan-perbuatan yang berdasarkan pergaulan masyarakat tidak tertulis sebagai perbuatan yang patut. Padahal dengan adanya asas legalitas arti sifat melawan aturan dalam aturan pidana menjadi dipersempit.

B.       Paham-paham Sifat Melawan Hukum
Berdasarkan  paham-paham sifat melawan hukum, kepercayaan membedakan perbautan melawan aturan atas:
1.      Perbuatan melawan aturan formil, yaitu suatu perbuatan melawan aturan apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, sandarannya yaitu aturan tertlis.
2.      Perbuata melawan aturan materiil, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan aturan walaupun belum diatur dalam undang-undang. Sandaranya yaitu asas umum yang terdapat di lapangan hukum.
Keterangan :
Asas legalitas mengandung  asas tunjangan yang secara histotris ialah reaksi terhadap kewesewenang-wenangan penguasa di zaman Ancient Regime, serta jawabanan atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian aturan yang menjadi keharusan dalam suatu negara liberal pada waktu itu. Roeslan Saleh menyatakan dengan tegas “nyata bahwa penolakan atas asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan aturan pidana yaitu berperihalan dengan makna hujkum pidana itu sendiri.”
Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi problem lantaran ini secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga di belanda untuk memilih apakah seseorang itu wederrchtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itunsudah memenuhi tiruana unsur terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Tetapi bagaimana dengan materiele wederrechtelijheid. Terhadap hala ini memamg menjadi problem lantaran di negeri Belanda sendiri pemikiran materiele wederrechtelijheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain lantaran di Indonesia bekembang pula aturan tidak tertulis yaitu yang aturan etika yang memungkinkan sifat melawan aturan tidak berdasarkan aturan tertulis dalam KUHP, tetapi unsur melawan aturan itu adadalam kehidupan masyarakat yang tidak tertulis.
Perkembangan pemikiran sifat melawan aturan yang material di Indonesia ternyat tidak ibarat yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumhya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menandakan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, tubuh peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut pemikiran sifat melawan hukum  yang material (materiele wederrechtelijheid) sebagai alasan pembenar.
Kaidah aturan ditarik dari putusan tersebut yaitu sebagai diberikut: Suatu tindakan sanggup hiliang sifatnya sebagai melawan hkum bukan spesialuntuk berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas aturan yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai contohnya tiga faktor:
1.      Negara tidak dirugikan
2.      Kepentingan umum dilayani; dan
3.      Terdakwa tidak mendapat untuk menuntut.
melaluiataubersamaini ekspansi perumusan asas legalitas dalam konsep kitab undang-undang hukum pidana Baru 1998, maka batas-batas tindak pidana juga diperluas, tidak spesialuntuk yang secara tegas dirumuskan dalam undang-undang, tetapi juga mencakup perbuatan-perbautan yang menunrut aturan yang hidup dipandang sebagai suatu delik. Makara tidak spesialuntuk kreteria formaal menurrut aturan yang hidup.
Alur pemikiran ini diberimbasa juga pada pemikiran sifat melawan aturan yang selama ini diperdebatkan.
Ajaran sifat melawan aturan menjadi lebih dilegalisasi dan masa menhadir tidak spesialuntuk terdapat dalam yurisprodensi, tetapi juga sudah diakui dalam suatu perundang-undangan tertulis yang ialah induk dari perundang-undangan yang lain. Langkah yang nyata sebetulnya sudah dirumuskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ibarat sudah disebut di atas, sedangkan dalam banyak sekali Konsep kitab undang-undang hukum pidana yang ada hal ini sudah diakomodasi.

C.      Perbuatan Hukum Menurut KUHP
Secara lebih terang pembuat konsep kitab undang-undang hukum pidana Baru 1998 menegaskan dianutnya pendapat sifat melawan aturan material yang terdapat dalam Pasal 17 yang dirumuskn sebagai diberikut:
Perbuatan yag dituduhkan haruslah ialah perbuatan yang dihentikan dan diancam dengan pidana oleh suatu peraturan perundang-undangan dan perbuatan tersebut juga berperihalan dengan hukum.
Penegasan ini juga dilanjutkan dalam pasal 18, yaitu:
Setiap tindak pidana Selalu berperihalan denagn pengaturan perundang-undangan atau berperihalan dengan hukum, kecuali terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Dari kata-kata berperihalan dengan aturan ini, maka sanggup ditafsirkan bahwa sifat sifat melawan aturan tidak spesialuntuk formale wederrechtelijkheid yang diakui, tetapi juga materiele wederrechtelijheid juga terakomodasi. Ini tidak lain untuk menampung aturan etika yang hingga ketika ini diberbagai kawasan masih tetap berlaku dan kenanyakan tidak tertulis.
Dari sini terlihat adanya asas keseimbangan antara patokan formal (kepastian hukum) dan patokan materiil (nilai keadilan) di mana dalam insiden faktual kedua-duanya saling mendesak, maka dalam Psaal 19 Konsep kitab undang-undang hukum pidana Baru 1998 memdiberi pedoman hakim mengutamakan keadilan memutuskan suatu kasus yang dihadapi daripada nilai kepastian konsep legalitas material dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku kini tidak dikenal.
Ajaran sifat melawan aturan material (materiele wederrechtelijheid) di Indonesia bukan spesialuntuk aturan pidana yang berlaku di Indonesia bukan spesialuntuk aturan pidana yang didasarkan pada kitab undang-undang hukum pidana saja, teapi juga aturan etika yang hingga kini masih terpelihara. Jika hal pemikiran sifat melawan aturan material tidak ditampung dalam suatu perundang-undangan atau yurisprudensi maka dikhawatirkan aturan pidana etika akan mengalami kematian. Tetapi untungnya Mahkamah Agung dalam putusannya tahun 1965 berani bertolak belakang dengan kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku pada saai itu sehingga aturan pidana atau aturan yang hidup dan tidak tertulis bisa diselamatkan.
Penyusun Konsep atau Rancangan kitab undang-undang hukum pidana Baru 1998 menyadari hal ini sehingga mereka perlu memasukannya menjadi suatu penggalan yang tersendiri disamping pemikiran sifat melawan aturan formal selama ini sudah terakomodasi. Bahkan lebih mengunggulkan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat dibanding nilai kepastian yang berarti mereka betul-betul menghargai aturan pidana etika yang kini ada dan berlahu. [1]

D.      Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana
Dalam aturan pidana yamg menjadi perhatian yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan aturan saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dihentikan dan diancam dengan pidana,  Langermeyer menyampaikan : untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak sanggup dipandang keliru, tidak masuk akal”. Sekarang soalnya ialah: Apakah ukuran daripada keliru atau tidaknya sesuatu perbuatan ?
Mengenai hal ini ada dua pendapat, yang pertama ialah: apabila perbuatan sudah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jikalau temasuk pengecualian yang sudah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan aturan berarti melawan undang-undang, alasannya yaitu aturan yaitu undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formal.
Sebaliknya ada yang beropini bahwa belum tentu kalau tiruana perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini dinamakan aturan bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula aturan yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang belaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendiriang yang materiel.
Seorang penulis (Vost) yang menganut pendirian yang materiel, memformulir perbuatan yang besifat melawan aturan sebagai: perbuatan yang oleh masyarakat tidak di bolehkan. Formulering ini dipengaruhui oleh arrest H.R Nederland tahun 1919, yang populer dengan nama Lindenbaun Chohen Arrest terkena kasus perdata. Di situ H.R belanda mengatakan: “Perbuatan melanggar aturan (onrechtmatige daad) yaitu bukan saja perbuatan yang berperihalan dengan wet, tetapi juga yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”. Duduknya kasus sebagaimana diuraikan oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya : Perbuatang Melangar Hukum (hlm.13) yaitu sebagai diberikut:
Ada dua kantor percetakan buku, yang satu kepunyaan Cohen dan yang lain kepunyaan Linenbaum. Mereka bersaing hebat satu sama lain. Pada suatu hari seorang pegawai dari Lindanbaum dibujuk oleh Cohen dengan macam-macam pemdiberian hadiah dan kesanggupan supaya mempersembahkan kepadanya (Cohen) turunan dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh Lindenbaum dan memdiberitahukan pula nama-nama dari orang-orang yang mengadakan pesanan kepada kantor Lindenbaum atau yang minta keterangan wacana harga cetak. melaluiataubersamaini tindakan ini Cohen tetunya bermaksud akan akan mempergunakan hal-hal yang sanggup diketahui itu untuk memutuskan suatu siasat biar khalayak ramai lebih suka hadir kepadanya daripada kekantor Lindenbaum. Tapi perbauatan itu diketahui oleh yang bersangkuatan. Maka dari itu dia digugat dipengadilan Amsterdam, sebagai sudah melaksanakan perbuatan melanggar aturan terhadapnya sehingga berdasar atas pasal 1401 (1365) BW minta ganti kerugian.
Dalam putusan hakim tingkat pertama Cohen dikalahkan tapi dalam tingkat banding di muka Gerechtshof Amsterdam Inden baum dikalahkan yaitu berdasar yurisprudensi yang dituruti terkena pasal tersebut. Perbuatan Cohen tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Karena tidak ditunjukan sesuatu pasal dari undang-undang yang oleh Cohen.
Lindenbaum mohon kasasi kepada H.R dengan alasan bahwa putusan tersebut melanggar pasal 1401 (1365) BW.
Akhirnya H.R dengan memberikan yurisprudensi sebagaimana diikuti dalam putusan Hof Amsterdam memutuskan pada tanggal 31 Desember 1919, bahwa perbuatan Cohen yaitu perbuatan melangar hukum, ibarat tersebut di atas.
Sebelum 1919, H.R tidak beropini demikian; yang dinamakan onrechtmating spesialuntuklah apabila perbuatan berperihalan dengan wet saja. Ini ternyata dari arrest H.R 1911 yang dinamakan De Zutfense Juffruow Arrest (putusan terkena nona dari kota Zutfen) . H.R. dalam arrestnya mengangap, bahwa perbuatan nona tersebut tidak bersifat melawan aturan lantaran perbuatannya tidak melanggar ketentuan wet.
Dalam kasus ini, juga mengutip dari buku Mr. Wirjono di atas, dudk perkaranya yaitu demikian; Nona tersebut tinggal di bagaian atas (loteng), sedangkan di penggalan bawah di tempati orang lain. Ketiaka ekspresi dominan hambar menghebat, maka pipa susukan air pecah dan air mengalir ke penggalan bawah. Kraan yang sanggup menghentikan mengalirnya air ada di atas dalam kamar nona tadi. Meskipun sudah diminta oleh penghuni penggalan bawah untuk menutup kraan, namun nona tidak menghiraukannya, sehingha air menggenangi penggalan bawah. Nona kemudian di gugat untuk membayar ganti kerugian yang timbul lantaran genangan air. Tapi dalam tingkat kasasi somasi tersebut di tolak oleh H.R. lantaran perbuatan nona tidak melanggar aturan wet.
Yang bependapat formal yaitu Simons: “Untuk sanggup di pidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik ersebut dalam wet, jikalau sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan aturan atau tidak. Selanjutnya dalam halaman 275 dia berkata: Hemat saya pendapat tentaang melawan aturan yang material tidak sanggup diterima, mereka yang menganut faham ini memutuskan kehendak pembentuk undang-undang yang sudah ternyata dalam aturan fositif, di bawah pengawasan keyakinan hukukm dari hakim persoonlik. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalak wet yaitu bersifat melawan hukum, akan tetapi perkeculian yang demikian itu spesialuntuk boleh diterima apabila memiliki dasar dalam aturan positif sendiri”.
Bagaimana pendirian kita terhadap soal ini ? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti pemikiran yang materiil. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada bahwa aturan dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa aturan yaitu undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir tiruana aturan Indonesia orisinil yaitu aturan yang tidak tertulis.
Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa di mana peraturan-peraturan aturan pidana kita sebagian besar sudah di muat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-laian. Maka pandangan wacana aturan dan sifat melawan aturan materiil di atas, spesialuntuk memiliki arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak ialah perbuatan pidana. Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatip dari sifat melawan aturan yang material. Adapun fungsi yang positif, yaitu perbuatan itu tidak dihentikan oleh undang-undang, tapi oleh masyarakat perbutan itu dianggap keliru, behubungan dengan azas legalitas, (ps 1 ayat 1 KUHP) dalam hukim pidana kemudian tidak mungkin. Lain halnya dalam aturan perdata, yang berafiliasi dengan adanya pasal 1365 BW. (barabgsiapa dengan perbuatan melawan aturan menjadikan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi) fungsi yang positif itu penting juga. Di sini bagaimanapun maanya perbuatan tidak ditentukan, sehingga tiap-tiap perbuatan melawan aturan termasuk di situ.
Kalau kita mengikuti pandangan yang material maka perbedaan dengan pandangan yang formal adalah:
1.      Menagakui adanya pengecualian / peniadaan dari sifat melawan hukumnya perbuatan berdasarkan aturan yang tertulis dan tidak tertulis ; sedangkan pandangan yang formal spesialuntuk mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49. Pembelaan terpaksa (Noodweer)
2.      Sifat melawan aturan yaitu unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga  bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut ; sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jikalau dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
melaluiataubersamaini mengakui bahwa sifat melwan aturan selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa lantaran itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, yaitu tegantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut tidak ditetapkan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memutar unsur melaewan aturan di dalam rumusannya.
Apakah konsekuensinya daripda pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan aturan selalu menjadi unsur tiap-tiap delik? konsekuensinya ialah: jikalau unsur melawan aturan tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap denga rahasia sudah ada, kecuali jikalau di buktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Sama halnya dengan kemampuan bertanggungjawaban.
Konsekuensi yang lain ialah: jikalau hakim gundah untuk memilih apkah unsur melawan aturan ini ada atau tidak maka dia tidak boleh metetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh katrenanya mustahil dijatuhi pidana. Menurut Vos Jonkers dan Langermeyer dalam hal itu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan aturan (ontslag van recht-vorvolging).
Bertalian dengan fungsi negatif dari sifat melawan aturan yang materiil, perlu diketahui putusan H.R. 20 Februari 1933 yang biasanya dikenal dengan nama: Arrest dokter binatang dari kota Huizen.
Duduknya kasus yaitu sebagai diberikut:
Dalam pasl 28 Vetweet ( undang-undang terkena binatang ) orang dihentikan untuk menepatkan binatang dalam keadaan yang mencurigakan ( in verdchte toestand brengen ) hal mana di ancam dengan pidana 1 tahun. Di sekitar kota Huzein ketika itu di antar binatang berjangkit penyakit lisan dan kuku. Ada tujuh buntut sapi yang belum terkena penyakit tersebut. Karena berdasarkan dokter binatang spai-sapi itu nantinya toh akan kena penyakit juga, maka lebih baik kalau dikenakan penyakit sekarang, mumpung belum mengeluarkan air susu dari pada dikemudian hari kalau sudah mengeluarkan. Karena itu sapi-sapi tadi diperintahkan supaya dimasukan dalam sangkar besama-sama dengan sapi-sapi yang sudah sakit. Rupanya yang punya binatang tadi tidak terima tindakan tersebut sehingga dokter binatang dituntut lantaran melanggar pasal 82 veewet tadi. Pembelajarannya yaitu demikian. Tindakan yang sudah dilakukan itu yaitu yang dianggap sempurna berdasarkan ilmu dokter hewan. Sebab kalau sapi-sapi diserang penyakit ketika mengeluarkan air susu, maka hal itu mengakibatkan lebih sakit baginya dan juga lebih menularkan penyakitnya lantaran air susunya. Makara untuk kepentingan sapi-sapi itu sendiri, maupun untuk kepentingan pemiliknya dan hewan-hewan lain pada umumnya, maka dilakukan tindakan di atas.
Gerechtshof di Amsterdam dalam tingkat banding menganggap bahwa alasan dokter binatang itu spesialuntuk memdiberi klarifikasi wacana apa yang mendorong dia untuk berbuat demikian tetapi tidak ialah perkecualian yang sanggup menghapus pemindahan, sehingga harus menjatuhkan pidana pada terdakwa.
Dalam tingkat kasasi H.R. berpandap bahwa: Menurut H.R. dengan adanya wet terkena pendidikan dokter hewan, maka pemekiharaan kesehatan binatang dan siapa yang boleh menjalankan pekerjaan dokter binatang sudah di atur.
melaluiataubersamaini ini ada pntunjuk bahwa dokter binatang tidak akan melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang, jikalau dia bertindak sesuai dengan ilmu yang sudah dicapainya. Keadaan ini tidak sanggup dibantah dengan dengan pernyataan, bahwa manakah orang sudah melaksanakan perbuatan yang di ancam dengan pidana, dia pasti sanggup dipidana, kecuali jikalau wet itu sendiri dengan nyata-nyata mengadakan perkecualian. Sebab yaitu mungkin sekali bahwa meskipun unsur melawan aturan tidak disebut tersendiri dalam rumusan delik, hakim toh tidak sanggup menghukum terdakwa apabila ternyata perbuatan tedakwa tidak bersifat melawan hukum. Pancaran binatang contohnya juga sanggup dipandang sebagai memutuskan binatang dalam keadaan yang mencurigakan. Tetapi hal itu juga tidak sanggup dituntut lantaran melanggar pasal 82 veewet. Dan hal itu juga tidak lantaran dalam wet sendiri ada pengecualiannya, tetapi lantaran pancaran binatang tak sanggup dipandang sebagai pebuatan melawan hukum.
Dari penggalan selesai pertimbangan H.R. di atas, terang ternyata fungsi negatif dari sifat melawan aturan yang materiil.[2]




BAB III
PENUTUP

Simpulan :
Sifat melawan aturan yaitu salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat adil, di mana sifat melawan aturan ini dijadikan unsur tertulis dalam pembentukan undang-undang.
Adapun paham-paham sifat yang melawan aturan yaitu :
·         Perbuatan melawan aturan formil, yaitu suatu perbuatan melawan aturan apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, sandarannya yaitu aturan tertlis.
·         Perbuata melawan aturan materiil, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan aturan walaupun belum diatur dalam undang-undang. Sandaranya yaitu asas umum yang terdapat di lapangan hukum.












DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Reneka Cipta, 2000




[1]Prasetyo, Teguh Hukum Pidana, (Jakarta: PT RAJAGRAPINDO PERSADA, 2011), Hal. 67-75  
[2]Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal. 130-136

Posting Komentar untuk "Sifat Melawan Hukum"