Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Korupsi Dalam Perspektif Sejarah: Kejahatan Purba Yang Ber'evolusi

Seperti sudah kita ketahui bahwa korupsi (corruption) yakni kendala bagi pembangunan, pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan kesejahteraan, serta efektivitas roda pemerintahan suatu negara. Sesudah dalam goresan pena sebelumnya kita mengulas tentang kaitan korupsi dengan distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi, serta perlawanan global memberantas korupsi, maka pada artikel ini kita akan mempelajari sejarah atau pertama mula timbulnya korupsi, menurut studi-studi ilmiah dan sumber pustaka lainnya.

Seperti sudah kita ketahui bahwa korupsi  Korupsi dalam Perspektif Sejarah: kejahatan purba yang ber'evolusi
Jika dilihat dari perspektif sejarah, korupsi yakni konsep yang sudah muncul semenjak lama. Salah satu temuan terkena konsep korupsi bisa dijumpai dalam buku berjudul Arthashastra, diterbitkan kurang-lebih pada periode ke-4 Sebelum Masehi, yang yakni karya seorang pejabat jaman kerajaan India Kuno berjulukan Kautilya.

Buku Arthashastra memuat beberapa topik bahasan, diantaranya terkena konsep disiplin, kiprah dan tanggung-jawaban pemerintah, aturan dan tata tertib, kekuasaan, hingga seni administrasi perang. Dalam salah satu bahasannya, buku tersebut menceritakan bagaimana menghancurkan musuh dari ‘dalam’ melalui pemdiberian suap berupa emas atau harta kekayaan lain (Kautilya. Arthashastra, translated by R. Shamasastry, 1915).



Selanjutnya, pada simpulan periode ke-12 hingga pertama periode ke-13, seorang sastrawan populer dari Italia, Dante Alighieri (1262-1321) juga menyinggung tentang korupsi dalam karya sastra’nya yang termasyur, The Divine Comedy (Sebagai catatan: The Divine Comedy menceritakan perjalanan Dante menuju neraka (Inferno), api penyucian (Purgatory), dan nirwana (Paradise), yang dikemas dalam bait-bait puisi) (Alighieri, Dante. The Divine Comedy, translated by J.G. Nichols, Alma Classics, 2012).

Sementara sebuah studi sebut bahwa William Shakespeare (1564-1616) pun pernah menceritakan kisah tentang korupsi dan penyuapan dalam karya-karya’nya, antara lain dalam The Merchant of Venice, Julius Caesar, dan Measure for Measure (Singh, Naunihal. The World of Bribery and Corruption, Mittal Publications, 1998).

Penelitian yang dilakukan Goel dan Nelson juga berupaya menemukan faktor-faktor yang menjadikan terjadinya korupsi, melalui studi terhadap sekitar 100 negara di dunia, dengan melibatkan unsur-unsur menyerupai sejarah berdirinya negara tersebut, letak geografis negara, serta sistem dan struktur pemerintahan dalam negara yang bersangkutan.

Adapun studi tersebut memakai metode kuantitatif dan kualitatif, dengan mempertanyakan imbas struktur institusi pemerintahan, serta imbas faktor sejarah dan geografis terhadap angka bencana korupsi di suatu negara.

Penelitian menghasilkan temuan yang memperkuat teori bahwa struktur dan ukuran (besar-kecil’nya) institusi pemerintah, termasuk wewenangnya dalam mengintervensi jalannya perekonomian negara, berdampak secara signifikan terhadap terjadinya korupsi. Sementara faktor sejarah dan adat-istiadat dalam masyarakat turut andil dalam memicu maraknya korupsi. Sedangkan letak geografis suatu negara bisa menjadi faktor berkembang-tidak’nya bencana korupsi.

Secara garis besar, penelitian tersebut mencatat bahwa:
  • Letak geografis suatu negara yang menyebar cenderung menyuburkan tindakan korupsi. Hal ini dikarenakan adanya kesusahan pemerintah pusat dalam memonitor acara di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan.
  • Sejarah dan kebiasaan masyarakat juga membentuk rujukan korupsi. Kebiasaan memdiberi-menerima suap (bribery) yang dilakukan masyarakat di suatu wilayah/negara bisa jadi yakni sesuatu yang masuk akal dan diterima secara umum. Hal demikian ini bisa menjadi bibit-bibit korupsi.
  • Struktur pemerintahan yang gemuk dan birokratis memicu timbulnya korupsi dalam level yang lebih besar dan masif, dibandingkan dengan struktur pemerintah yang lebih ramping. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya dilema dalam koordinasi dan pertolongan kiprah yang tumpang-tindih.
  • Pemerintahan yang terdesentralisasi juga memicu tingginya bencana korupsi, namun temuan ini bervariasi (mixed) antara satu wilayah dengan wilayah lain, tergantung dari tatanan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Disatu sisi, saat kewenangan didelegasikan kepada struktur pegawanegeri yang lebih rendah, maka penguasa wilayah bisa melaksanakan tindakan korupsi tanpa sepengetahuan institusi pusat. Akan tetapi disisi lain ada temuan yang menyatakan bahwa saat wewenang pemerintah bersifat desentralisasi, masyarakat wilayah setempat menjadi lebih simpel mengawasi aparatur pemerintahan dalam menjalankan fungsinya, sehingga bisa menekan angka korupsi.
  • Kekuatan institusi negara juga mempengaruhi angka bencana korupsi; dalam hal ini, semakin berpengaruh sistem hukum, institusi demokrasi, dan institusi anti-korupsi dalam suatu negara, maka akan semakin bisa mencegah dan mengurangi angka bencana korupsi.
  • Negara yang sejahtera bisa mengalokasikan anggaran yang tinggi bagi pendidikan masyarakat’nya. Tingginya tingkat pendidikan akan memicu kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai masyarakat negara, termasuk dalam menyikapi perbuatan korupsi.
  • Negara dengan pendapatan tinggi (high-income countries) cenderung rendah dalam angka bencana korupsi.
  • Angka bencana korupsi di negara demokratis cenderung lebih kecil daripada di negara-negara dengan kekuasaan terpusat. Namun demikian, alasan yang mengemuka bukanlah pada tinggirnya kesadaran akan korupsi, melainkan lebih pada kekhawatiran akan berkurangnya derma (dalam pemilihan umum), baik bagi dirinya sendiri maupun partainya (dalam negara yang menganut sistem multi partai), apabila tertangkap berair melaksanakan korupsi.
(Goel, Rajeev K., and Michael A. Nelson. Causes of corruption: History, geography and government, Bank of Finland Institute for Economies in Transition, Discussion Paper 6, 2008).

Lebih lanjut, korupsi bermanifestasi dalam tindakan yang berguaka ragam. Berikut ini beberapa aktvitas yang digolongkan sebagai tindakan korupsi:
  • Crony capitalism, mengacu pada keberhasilan suatu usaha/bisnis yang semata-mata disebabkan oleh kedekatan dengan pihak pengambil keputusan publik, melalui imbas dan kemudahan istimewa yang didiberikan.
  • Embezzlement, mengacu pada pencurian anggaran negara oleh otoritas pemerintah melalui penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek dan/atau jadwal pembangunan.
  • Extortive corruption, yakni tindakan mempersembahkan suap (bribery) kepada otoritas pemerintah sebagai imbalan atas suatu keputusan atau kebijakan yang menguntungkan pihak pemdiberi suap.
  • Facilitation payment, mengacu pada pembayaran jasa publik yang seharusnya tidak ada (gratis), atau pengenaan biaya yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Dalam bahasa sederhana disebut pungli (pungutan liar).
  • Kickback, yakni pembayaran sebagai jaminan dan balas jasa lantaran sudah didiberikan kontrak bisnis dan/atau kemudahan lain yang tidak seharusnya diterima.
  • Kleptocracy, mengacu pada sistem pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok orang yang meggunakan kekuasaan untuk memperkaya dan memperkokoh kekuatan politik mereka.
  • Queue corruption, yakni suap yang ditawarkan atau didiberikan untuk mendapatkan posisi/jabatan yang lebih baik (terutama dalam struktur institusi pemerintahan).
(SØreide, Tina. Drivers of Corruption: A Brief Review, A World Bank Study, 2014).

Dari catatan-catatan diatas bisa disimpulkan bahwa korupsi sudah melalui serangkaian sejarah panjang, mulai dari yang berwujud sederhana hingga dengan praktik-praktik yang canggih dan modern. **


ARTIKEL TERKAIT :
Upaya Memberantas Tindak Kejahatan Pencucian Uang (Anti-Money Laundering)
Memahami Konsep Money Laundering
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Memahami Arti Pelanggaran Pajak (Tax Evasion) dan Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Posting Komentar untuk "Korupsi Dalam Perspektif Sejarah: Kejahatan Purba Yang Ber'evolusi"